Selasa, 12 Mei 2015

Universitas Sebelas Maret: UKT (Uang Kuliah Tunggal) dipertanyakan!


 
Latar Belakang
Sudah menjadi sebuah bahasan yang membosankan (mungkin) ketika mengkaji tentang UKT (Uang Kuliah Tunggal) atau Uang Kuliah Tinggi. Menurut Permendikbud No. 55 tahun 2013 pasal 1 ayat (3) Uang kuliah tunggal merupakan sebagian Biaya kuliah tunggal [pasal (1) merupakan keseluruhan biaya operasional per mahasiswa per semester pada program studi di perguruan tinggi negeri] yang ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya.
Awal dari kisah UKT mungkin benar-benar dimulai tahun 2013 dimana dikeluarkannya Surat Dirjen Pendidikan Tinggi nomor 97/E/KU/2013 tentang UKT, dan didalamnya memerintahkan untuk dilaksanakannya sistem UKT dan peniadaan uang pangkal mulai dari tahun akademik 2013/2014. dan kampus saya (UNS) merupakan salah satu kampus yang dengan ramah menyambut sistem ini.
Namun dalam pelaksanaannya menimbulkan banyak sekali pro-kontra baik dari civitas akademika kampus ataupun masyarakat luar khususnya wali mahasiswa. UNS yang dulu notabene-nya merupakan kampus yang “murah” sekarang tidak lagi ditemukan kata itu.
Pada dasaranya ketika kita memahami konstruksi pemikiran pembuatan sistem ini, kita akan mengetahui bahwa sistem ini sebenarnya dibuat untuk pemerataan (kesetaraan) dengan tujuan mensejahterakan pendidikan dalam hal kewajiban membayar biaya kuliah, dimana diharapkan setelah berlakunya UKT tidak akan diadakan lagi Uang Pangkal (UP) karena dalam perencanaannya UP digantikan oleh BOPTN (Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri).
Keluhan dan keresahan merupakan landasan utama penulisan ini. Penulis mendapatkan banyak masukan, pertanyaan, diskusi, dan juga pemikiran pribadi terkait pelaksanaan UKT, khususnya kembali bergejolak akhir-akhir ini dimana masa penerimaan mahasiswa baru dan dengan kebijakan penggolongan UKT baru. Oleh karena itu diharapkan dapat menjadi pemikiran bersama.

Permasalahan
Dalam keberjalanannya banyak kejanggalan dan permasalahan yang kemudian timbul dari sistem ini, antara lain:
1.      Telah terlihat pada pelaksanaan UKT murni pertama ditahun 2013, diketahui yang membuat standar Biaya Kuliah Tunggal (BKT) adalah pemerintah, yang dalam hal ini dilakukan survey tehadap 3 PTN dan 2 PTS di Indonesia. Tentu muncul beberapa pertanyaan seperti; apakah sama biaya Universitas di Solo dengan Jambi? Apakah BKT itu akan berlaku selamanya bagi angkatan 2013?  Relevankah? UNS (kampus tercinta saya) yang dalam hal ini telah menerapkan sistem ini, namun belum sepenuhnya. Yang mana kategori UKT yang seharusnya didasarkan terhadap penghasilan orang tua, pada pelaksanaan tahun 2013 menggunakan sistem “Jalur Masuk”.
2.      Menjadi permasalahan selanjutnya adalah mengenai nominal yang dibayarkan pada SPP/ Biaya per semester yang semakin meningkat secara signifikan. Saya ambil contoh pada prodi saya, Pendidikan Dokter; pada tahun 2011 semua mahasiswa membayar 2,5jt, pada tahun 2012 sebagian besar membayar 5,5jt, sedangkan pada tahun 2013 jalur UNDANGAN/SNMPTN membayar 6,8jt jalur SBMPTN 15,5 dan jalur mandiri 17,5jt, dan pada tahun akademik 2014/2015 sudah “mulai” diterapkan sistem penggolongan kategori berdasarkan penghasilan orang tua.
Wajar apabila muncul keluhan “bayarnya kan beda jauh kok fasilitas yang didapatkan sama”, dan jika melihat pelaksanaannya dalam hampir 3 angkatan, maka perlu untuk dilakukannya penyesuaian “teori” dan pelaksanaan yang ada.
3.      Pertanyaan ketiga adalah mengenai alokasi UP yang dulunya ada dan kabarn ya sekarang dibayar oleh pemerintah melalui BOPTN yang diterima suatu PTN. Dan bagaimana pelaksanaannya di UNS, apakah sudah meng-cover semua UP yang mana menjadi tujuan awal diadakannya BOPTN?
4.      Lalu pertanyaan keempat yang timbul adalah bagaimana dengan pelaksanaan penggolongan yang telah dan sedang akan berlangsung pada angkatan 2015 ini yang masih banyak memiliki kelemahan, disamping telah diumumkan adanya kenaikan “lagi” dari UKT. Yakni pendataan penggolongan kategori berdasarkan pendapatan, ini telah terbukti menjadi sebuah variable yang sangat “rentan” untuk terjadinya kesalahan, salah satu indikatorrnya terlihat ada sekitar 100 orang mahasiswa kedokteran yang mengajukan keringanan. Pertanyaannya apakah sama penghasilan 5juta dipapua dengan dijawa misal, atau apakah sama ketika seorang PNS yang gajinya sekitar 5juta disamakan dengan pengusaha yang penghasilannya dapat dikatakan “semu”, lalu variable lain apakah sama ketika jumlah tanggungan anak yang juga sedang kuliah dengan anak yang masih TK?
5.      Pertanyaan yang muncul selanjutnya, apakah sistem UKT tanpa Uang Pangkal (swadana) yang dalam hal ini saya ambil contoh yang diterapkan di UNS sudah tepat dan sesuai dengan kondisi? Dan juga apakah sudah sesuai dengan konstruksi pemikiran awal dalam pembentukan sistem UKT ini?  

Pembahasan
Pertama, mengenai permasalahan tentang pelaksanaan UKT pertama kali yakni tahun 2013 tentu terasa “belum siap” dan tekesan tergesa-gesa. Dimana seharusnya jika memang benar-benar sudah siap dan ingin melaksanakan UKT maka akan memenuhi rincian sesuai yang terlampir dalam lampiran 1 Permendikbud nomor 73 tahun 2014. Dan juga dalam penyelenggaraan penggolongan yang berdasarkan jalur masuk.
Kesan tergesa-gesa juga tampak dari perbedaan BKT yang signifikan, pada Permendikbud nomor 73 tahun 2014, BKT (saya ambil contoh sarjana kedokteran) tahun 2013 adalah 12.694.000 dan pada tahun 2014 senilai 23.249.000. yang juga masih menjadi pertanyaan lagi pada tahun 2013 kebijakan kategori jalur SBMPTN membayar UKT senilai 15,5jt dan ini berarti melebihi dari BKT yang mana seharusnya sesuai ayat (4) pasal 1 Permendikbud No. 55 tahun 2013, Uang kuliah tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan biaya kuliah tunggal dikurangi biaya yang ditanggung oleh Pemerintah. Yang artinya tidak boleh lebih dari BKT. Dan oleh karena itu juga disini kehadiran BOPTN masih dipertanyakan.
Namun memang dalam meredam gejolak yang ada Rektor UNS mengeluarkan SK Rektor NO: 610 A/UN27/KM/2013 tentang pemberian dispensasi dan keringanan bagi mahasiswa universitas Sebelas Maret. Namun jawaban mengenai apakah ini melanggar aturan atau tidak, penulis belum bisa menjawab menggunakan data dan sumber valid.

Kedua, mengenai pembahasan ini sebenarnya perlu untuk melampirkan data yang lebih akurat seperti rincian pemasukan dan pengeluaran universitas dan fakultas, lalu dibandingkan dari tahun pre-UKT dan zaman UKT, namun penulis belum dapat menyajikan. Pada intinya kembali lagi pada konsep pembentukan sistem UKT ini yang mana menuntut untuk adanya pemerataan, semua orang membayar berdasarkan kemampuan ekonomi. Saya lanjutkan penjelasan dari contoh yang saya tuliskan diatas, dimana pada tahun 2011 semua mahasiswa membayar senilai 2,5jt namu diawal mereka juga membayar 8jt untuk SNMPTN dan SBMPTN namun jalur swadana membayar 125jt yakni sekitar 50orang, berbeda dengan tahun 2013 yang TIDAK ada lagi jalur swadana.  Yang masih menjadi PR adalah tentang rincian yang sebenarnya mengenai perbedaan pengeluaran dan pemasukan pada kedua sistem yang ada.
Namun yang perlu digaris bawahi adalah ketika sebelum diberlakukannya sistem UKT tidak pernah ada “KELUHAN” dan juga permasalahan yang ada saat ini (di UNS terlepas dari kasus remunerasi yang sedang terjadi, akan dibahas pada topic tersendiri) dan juga perlu disadari oleh pemerintah, kampus dan juga mahasiswa bahwa dengan diberlakukannya sistem UKT dengan kategori akan semakin membuat unpredictable jumlah mahasiswa yang masuk dengan kategori 1/-/6. Karena tidak menutup kemungkinan ketika (UNS yang terkenal “murah”) pendaftar yang pintar banyak berasal dari kategori 2 misal. Oleh karena itu sistem UKT ini memiliki banyak sekali kelemahan.

Ketiga, berdasarkan Juknis BOPTN tahun 2014, program Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) merupakan bantuan biaya dari Pemerintah yang diberikan pada Perguruan Tinggi Negeri untuk membiayai kekurangan biaya operasional yang sesuai dengan standar pelayanan minimum. disana dijelaskan minimal ada 5 kriteria yang mempengaruhi  alokasi BOPTN:
a.         PNBP per mahasiswa (S1 dan Diploma)
b.         Proporsi Bidik Misi terhadap jumlah mahasiswa
c.         Proporsi PNBP non tuition
d.         Indeks terhadap jenis/karakteristik Prodi
e.         Akreditasi Program Studi
namun saat ini masih belum penulis dapatkan mengenai rincian alokasi dan penggunaan dari BOPTN khususnya di UNS, yang secara tidak langsung saat ini diposisikan sebagai pengganti uang pangkal. Kembali lagi proses TRANSPARANSI yang belum “berani” pihak kampus lakukan.

Keempat, menurut Permendikbud RI nomor 73 tahun 2014 pasal 4 ayat (4) “Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria kelompok UKT sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 [Kriteria kelompok UKT I sampai dengan VIII berdasarkan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya] ditetapkan oleh pemimpin perguruan tinggi negeri.” Ini memberikan pemaknaan yang sangat luas, dimana berarti PTN berhak secara bebas untuk menentukan criteria kelompok UKT yang dimaksud.
Saat ini di UNS terdapat beberapa variable penentu kategori UKT namun penentu terkuat tetaplah penghasilan orang tua dan jumlah tanggungan. Namun tetaplah tidak menjawab pertanyaan yang timbul pada bab permasalahan di atas, yakni masih sulit untuk menentukan kategori secara tepat.
Lalu jika kembali ditanya, apakah ini sudah selaras dengan tujuan sistem UKT kesejahteraan pembiayaan pendidikan? Tentu akan jadi pertanyaan. Kita tahu malah yang seharusnya bisa membayar 2,5jt harus membayar 15,5jt. Karena ketika masih diadakannya swadana tentu 50orang yang pintar dan kaya mampu untuk benar-benar menyubsidi silang teman-teman yang lainnya.

Kelima, berdasarkan amanat Permendikbud nomor 55 tahun 2013 tentang UKT, pasal 5 menyatakan Perguruan tinggi negeri tidak boleh memungut uang pangkal dan pungutan lain selain uang kuliah tunggal dari mahasiswa baru program Sarjana (S1) dan program diploma mulai tahun akademik 2013 – 2014. Dan ini juga merupakan penekanan ulang dari dikeluarkannya Surat Dirjen Pendidikan Tinggi nomor 97/E/KU/2013 tentang UKT. Yang bermakna bahwa tidak boleh dilakukannya pemungutan diluar UKT. Namun jika kita melihat realita yang ada saat ini dan prognosis sistem UKT yang tidak kunjung membaik, maka ada sedikit celah untuk melakukan evaluasi dan mencari jalan alternative, antara lain dengan membuka jalur swadana (seperti tahun-tahun tenang dan damai yang pernah UNS alami) sebagaimana diamanatkan  pada pasal 6 diatur Perguruan tinggi negeri dapat memungut di luar ketentuan uang kuliah tunggal dari mahasiswa baru program Sarjana (S1) dan program diploma  nonregulerpaling banyak 20 (dua puluh) persen dari jumlah mahasiswa baru mulai tahun akademik 2013-2014.
Permasalahan yang akan muncul kembali adalah paradigma buruk yang ada di masyarakat, sebut saja komersialisasi kursi kuliah, atau dilematisasi yang dirasakan oleh mahasiswa dimana disatu sisi akan memahami bahwa perlu untuk dibuka jalur swadana namun disisi lain ada yang merasa bahwa “dengan adanya kelas swadana kita akan mengambil kursi orang yang seharusnya masuk”.
Sebenarnya itu akan dapat terbantahkan ketika ada regulasi yang jelas, semisal jalur swadana FK UNS dibuka dengan persentase 20% dari jumlah total mahasiswa, dengan nilai minimum yang tidak boleh jauh selisih dengan rata-rata mereka yang lulus SBMPTN murni semisal. Oleh karena itu tidak hanya sekadar modal “uang” saja, namun juga otak. Cukup mengambil 50 orang saja, dan mengembalikan sistem yang dulu ada, ataupun jikalau memang masih menggunakan sistem UKT yang ada, penggolongan akan semakin sedikit rentang dan nilainya.

Penutup
Kembali saya tekankan bahwa tulisan ini bertujuan untuk mengajak public untuk kembali berfikir. Semua ini juga merupakan luapan keresahan yang selama ini ada. Semoga dapan menjadi pemikiran bersama dan dicarikan solusinya bersama.
Disini ada 2 solusi yang kami tawarkan:
1.      Memilih untuk tetap melaksanakan sistem UKT tanpa swadana, yang mana masih banyak sekali kekurangan, dengan terus memilih untuk memperbaiki system, dari langkah awal verifikasi berkas hingga keluhan kesalahan penggolongan, sampai berbagai permasalahan lain yang merupakan metastasis dari system pembayaran UKT ini.
2.      Memilih untuk merubah keputusan, dan melaksanakan kembali jalur swadana yang bertujuan untuk menopang pengembangan mutu kampus sebagaimana diperbolehkan dalam pasal 6 Permendikbud nomor 55 tahun 2013 tentang UKT.

Langkah konkrit yang selanjutnya dapat dilaksanakan adalah mendorong pihak kampus untuk melakukan transparansi segala jenis transaksi keuangan, dari dana mahasiswa, BOPTN, ataupun PNBP lainnya. Civitas akademika saat ini semakin kritis, mungkin bukan hanya mahasiswa bahkan masyarakatpun juga semakin pintar, oleh karena itu pengelolaan keuangan yang terkenal bersifat “sensitive” harus dilakukan setransparan mungkin. Hal itu juga tentu sebagai antisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, seperti yang Pak Rektor UNS sampaikan bahwa salah satu alasan sampai saat ini menolak diadakannya jalur swadana adalah takut terjadinya fitnah.
Saya juga tekankan bahwa solusi yang ditawarkan disini akan sia-sia ketika tidak diiringi dengan proses check and balance sistem antara pihak rektorat/dekanat dengan mahasiswa sebagai objek dari kasus ini.
{Perjuangan ini semua mungkin tidak akan berefek pada kami angkatan 2013, 2014, 2015, namun kami hanya tidak ingin semakin “banyak” lagi orang-orang yang merasakan tingginya biaya kuliah (di UNS)}
~saya bukan tidak percaya Allah maha kaya, tapi tidak semua orang terlahir untuk menjadi kaya, jadi tidak salah ketika saya memperjuangkan “ini semua”~

Abdurrahman Afa Haridhi
Mahasiswa Pendidikan Dokter 2013
Fakultas Kedokteran

0 comments:

Posting Komentar