Latar Belakang
Sudah
menjadi sebuah bahasan yang membosankan (mungkin) ketika mengkaji tentang UKT
(Uang Kuliah Tunggal) atau Uang Kuliah Tinggi. Menurut Permendikbud No. 55
tahun 2013 pasal 1 ayat (3) Uang kuliah tunggal merupakan sebagian Biaya kuliah
tunggal [pasal (1) merupakan keseluruhan biaya operasional per mahasiswa per semester
pada program studi di perguruan tinggi negeri] yang ditanggung setiap mahasiswa
berdasarkan kemampuan ekonominya.
Awal
dari kisah UKT mungkin benar-benar dimulai tahun 2013 dimana dikeluarkannya
Surat Dirjen Pendidikan Tinggi nomor 97/E/KU/2013 tentang UKT, dan didalamnya
memerintahkan untuk dilaksanakannya sistem UKT dan peniadaan uang pangkal mulai
dari tahun akademik 2013/2014. dan kampus saya (UNS) merupakan salah satu kampus
yang dengan ramah menyambut sistem ini.
Namun
dalam pelaksanaannya menimbulkan banyak sekali pro-kontra baik dari civitas
akademika kampus ataupun masyarakat luar khususnya wali mahasiswa. UNS yang
dulu notabene-nya merupakan kampus
yang “murah” sekarang tidak lagi ditemukan kata itu.
Pada
dasaranya ketika kita memahami konstruksi pemikiran pembuatan sistem ini, kita
akan mengetahui bahwa sistem ini sebenarnya dibuat untuk pemerataan (kesetaraan)
dengan tujuan mensejahterakan pendidikan dalam hal kewajiban membayar biaya
kuliah, dimana diharapkan setelah berlakunya UKT tidak akan diadakan lagi Uang
Pangkal (UP) karena dalam perencanaannya UP digantikan oleh BOPTN (Bantuan
Operasional Perguruan Tinggi Negeri).
Keluhan
dan keresahan merupakan landasan utama penulisan ini. Penulis mendapatkan
banyak masukan, pertanyaan, diskusi, dan juga pemikiran pribadi terkait
pelaksanaan UKT, khususnya kembali bergejolak akhir-akhir ini dimana masa penerimaan
mahasiswa baru dan dengan kebijakan penggolongan UKT baru. Oleh karena itu
diharapkan dapat menjadi pemikiran bersama.
Permasalahan
Dalam
keberjalanannya banyak kejanggalan dan permasalahan yang kemudian timbul dari sistem
ini, antara lain:
1. Telah
terlihat pada pelaksanaan UKT murni pertama ditahun 2013, diketahui yang membuat
standar Biaya Kuliah Tunggal (BKT) adalah pemerintah, yang dalam hal ini
dilakukan survey tehadap 3 PTN dan 2 PTS di Indonesia. Tentu muncul beberapa
pertanyaan seperti; apakah sama biaya Universitas di Solo dengan Jambi? Apakah BKT
itu akan berlaku selamanya bagi angkatan 2013? Relevankah? UNS (kampus tercinta saya) yang
dalam hal ini telah menerapkan sistem ini, namun belum sepenuhnya. Yang mana
kategori UKT yang seharusnya didasarkan terhadap penghasilan orang tua, pada
pelaksanaan tahun 2013 menggunakan sistem “Jalur Masuk”.
2. Menjadi
permasalahan selanjutnya adalah mengenai nominal yang dibayarkan pada SPP/
Biaya per semester yang semakin meningkat secara signifikan. Saya ambil contoh
pada prodi saya, Pendidikan Dokter; pada tahun 2011 semua mahasiswa membayar
2,5jt, pada tahun 2012 sebagian besar membayar 5,5jt, sedangkan pada tahun 2013
jalur UNDANGAN/SNMPTN membayar 6,8jt jalur SBMPTN 15,5 dan jalur mandiri
17,5jt, dan pada tahun akademik 2014/2015 sudah “mulai” diterapkan sistem penggolongan
kategori berdasarkan penghasilan orang tua.
Wajar
apabila muncul keluhan “bayarnya kan beda jauh kok fasilitas yang didapatkan
sama”, dan jika melihat pelaksanaannya dalam hampir 3 angkatan, maka perlu
untuk dilakukannya penyesuaian “teori” dan pelaksanaan yang ada.
3. Pertanyaan
ketiga adalah mengenai alokasi UP yang dulunya ada dan kabarn ya sekarang
dibayar oleh pemerintah melalui BOPTN yang diterima suatu PTN. Dan bagaimana
pelaksanaannya di UNS, apakah sudah meng-cover
semua UP yang mana menjadi tujuan awal diadakannya BOPTN?
4. Lalu
pertanyaan keempat yang timbul adalah bagaimana dengan pelaksanaan penggolongan
yang telah dan sedang akan berlangsung pada angkatan 2015 ini yang masih banyak
memiliki kelemahan, disamping telah diumumkan adanya kenaikan “lagi” dari UKT. Yakni
pendataan penggolongan kategori berdasarkan pendapatan, ini telah terbukti menjadi
sebuah variable yang sangat “rentan” untuk terjadinya kesalahan, salah satu
indikatorrnya terlihat ada sekitar 100 orang mahasiswa kedokteran yang
mengajukan keringanan. Pertanyaannya apakah sama penghasilan 5juta dipapua
dengan dijawa misal, atau apakah sama ketika seorang PNS yang gajinya sekitar
5juta disamakan dengan pengusaha yang penghasilannya dapat dikatakan “semu”,
lalu variable lain apakah sama ketika jumlah tanggungan anak yang juga sedang
kuliah dengan anak yang masih TK?
5.
Pertanyaan yang muncul selanjutnya,
apakah sistem UKT tanpa Uang Pangkal (swadana) yang dalam hal ini saya ambil
contoh yang diterapkan di UNS sudah tepat dan sesuai dengan kondisi? Dan juga
apakah sudah sesuai dengan konstruksi pemikiran awal dalam pembentukan sistem UKT
ini?
Pembahasan
Pertama,
mengenai permasalahan tentang pelaksanaan UKT pertama kali yakni tahun 2013
tentu terasa “belum siap” dan tekesan tergesa-gesa. Dimana seharusnya jika
memang benar-benar sudah siap dan ingin melaksanakan UKT maka akan memenuhi
rincian sesuai yang terlampir dalam lampiran 1 Permendikbud nomor 73 tahun
2014. Dan juga dalam penyelenggaraan penggolongan yang berdasarkan jalur masuk.
Kesan
tergesa-gesa juga tampak dari perbedaan BKT yang signifikan, pada Permendikbud
nomor 73 tahun 2014, BKT (saya ambil contoh sarjana kedokteran) tahun 2013
adalah 12.694.000 dan pada tahun 2014 senilai 23.249.000. yang juga masih
menjadi pertanyaan lagi pada tahun 2013 kebijakan kategori jalur SBMPTN
membayar UKT senilai 15,5jt dan ini berarti melebihi dari BKT yang mana
seharusnya sesuai ayat (4) pasal 1 Permendikbud No. 55 tahun 2013, Uang kuliah
tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan biaya kuliah
tunggal dikurangi biaya yang ditanggung oleh Pemerintah. Yang artinya tidak
boleh lebih dari BKT. Dan oleh karena itu juga disini kehadiran BOPTN masih
dipertanyakan.
Namun memang dalam meredam gejolak yang ada Rektor
UNS mengeluarkan SK Rektor NO: 610 A/UN27/KM/2013 tentang pemberian dispensasi
dan keringanan bagi mahasiswa universitas Sebelas Maret. Namun jawaban mengenai
apakah ini melanggar aturan atau tidak, penulis belum bisa menjawab menggunakan
data dan sumber valid.
Kedua,
mengenai pembahasan ini sebenarnya perlu untuk melampirkan data yang lebih
akurat seperti rincian pemasukan dan pengeluaran universitas dan fakultas, lalu
dibandingkan dari tahun pre-UKT dan zaman UKT, namun penulis belum dapat
menyajikan. Pada intinya kembali lagi pada konsep pembentukan sistem UKT ini
yang mana menuntut untuk adanya pemerataan, semua orang membayar berdasarkan
kemampuan ekonomi. Saya lanjutkan penjelasan dari contoh yang saya tuliskan
diatas, dimana pada tahun 2011 semua mahasiswa membayar senilai 2,5jt namu
diawal mereka juga membayar 8jt untuk SNMPTN dan SBMPTN namun jalur swadana
membayar 125jt yakni sekitar 50orang, berbeda dengan tahun 2013 yang TIDAK ada
lagi jalur swadana. Yang masih menjadi
PR adalah tentang rincian yang sebenarnya mengenai perbedaan pengeluaran dan
pemasukan pada kedua sistem yang ada.
Namun
yang perlu digaris bawahi adalah ketika sebelum diberlakukannya sistem UKT
tidak pernah ada “KELUHAN” dan juga permasalahan yang ada saat ini (di UNS
terlepas dari kasus remunerasi yang
sedang terjadi, akan dibahas pada topic tersendiri) dan juga perlu disadari
oleh pemerintah, kampus dan juga mahasiswa bahwa dengan diberlakukannya sistem UKT
dengan kategori akan semakin membuat unpredictable
jumlah mahasiswa yang masuk dengan kategori 1/-/6. Karena tidak menutup
kemungkinan ketika (UNS yang terkenal “murah”) pendaftar yang pintar banyak
berasal dari kategori 2 misal. Oleh karena itu sistem UKT ini memiliki banyak
sekali kelemahan.
Ketiga,
berdasarkan Juknis BOPTN tahun 2014, program Bantuan Operasional Perguruan
Tinggi Negeri (BOPTN) merupakan bantuan biaya dari Pemerintah yang diberikan
pada Perguruan Tinggi Negeri untuk membiayai kekurangan biaya operasional yang
sesuai dengan standar pelayanan minimum. disana dijelaskan minimal ada 5
kriteria yang mempengaruhi alokasi BOPTN:
a. PNBP per mahasiswa (S1 dan Diploma)
b. Proporsi Bidik Misi terhadap jumlah
mahasiswa
c. Proporsi PNBP non tuition
d. Indeks terhadap jenis/karakteristik
Prodi
e. Akreditasi Program Studi
namun
saat ini masih belum penulis dapatkan mengenai rincian alokasi dan penggunaan
dari BOPTN khususnya di UNS, yang secara tidak langsung saat ini diposisikan
sebagai pengganti uang pangkal. Kembali lagi proses TRANSPARANSI yang belum “berani”
pihak kampus lakukan.
Keempat,
menurut Permendikbud RI nomor 73 tahun 2014 pasal 4 ayat (4) “Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria
kelompok UKT sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 [Kriteria kelompok UKT I sampai
dengan VIII berdasarkan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau
pihak lain yang membiayainya] ditetapkan oleh pemimpin perguruan tinggi negeri.”
Ini memberikan pemaknaan yang sangat luas, dimana berarti PTN berhak secara
bebas untuk menentukan criteria kelompok UKT yang dimaksud.
Saat
ini di UNS terdapat beberapa variable penentu kategori UKT namun penentu
terkuat tetaplah penghasilan orang tua dan jumlah tanggungan. Namun tetaplah
tidak menjawab pertanyaan yang timbul pada bab permasalahan di atas, yakni masih
sulit untuk menentukan kategori secara tepat.
Lalu
jika kembali ditanya, apakah ini sudah selaras dengan tujuan sistem UKT kesejahteraan
pembiayaan pendidikan? Tentu akan jadi pertanyaan. Kita tahu malah yang seharusnya
bisa membayar 2,5jt harus membayar 15,5jt. Karena ketika masih diadakannya
swadana tentu 50orang yang pintar dan kaya mampu untuk benar-benar menyubsidi
silang teman-teman yang lainnya.
Kelima,
berdasarkan amanat Permendikbud nomor 55 tahun 2013 tentang UKT, pasal 5
menyatakan Perguruan tinggi negeri tidak
boleh memungut uang pangkal dan pungutan lain selain uang kuliah tunggal dari
mahasiswa baru program Sarjana (S1) dan program diploma mulai tahun akademik
2013 – 2014. Dan ini juga merupakan penekanan ulang dari dikeluarkannya
Surat Dirjen Pendidikan Tinggi nomor 97/E/KU/2013 tentang UKT. Yang bermakna
bahwa tidak boleh dilakukannya pemungutan diluar UKT. Namun jika kita melihat
realita yang ada saat ini dan prognosis sistem UKT yang tidak kunjung membaik,
maka ada sedikit celah untuk melakukan evaluasi dan mencari jalan alternative,
antara lain dengan membuka jalur swadana (seperti tahun-tahun tenang dan damai
yang pernah UNS alami) sebagaimana diamanatkan pada pasal 6 diatur Perguruan tinggi negeri dapat memungut di luar ketentuan uang kuliah
tunggal dari mahasiswa baru program Sarjana (S1) dan program diploma nonregulerpaling banyak 20 (dua puluh) persen
dari jumlah mahasiswa baru mulai tahun akademik 2013-2014.
Permasalahan
yang akan muncul kembali adalah paradigma buruk yang ada di masyarakat, sebut
saja komersialisasi kursi kuliah, atau dilematisasi yang dirasakan oleh
mahasiswa dimana disatu sisi akan memahami bahwa perlu untuk dibuka jalur
swadana namun disisi lain ada yang merasa bahwa “dengan adanya kelas swadana
kita akan mengambil kursi orang yang seharusnya masuk”.
Sebenarnya
itu akan dapat terbantahkan ketika ada regulasi yang jelas, semisal jalur
swadana FK UNS dibuka dengan persentase 20% dari jumlah total mahasiswa, dengan
nilai minimum yang tidak boleh jauh selisih dengan rata-rata mereka yang lulus
SBMPTN murni semisal. Oleh karena itu tidak hanya sekadar modal “uang” saja,
namun juga otak. Cukup mengambil 50 orang saja, dan mengembalikan sistem yang
dulu ada, ataupun jikalau memang masih menggunakan sistem UKT yang ada,
penggolongan akan semakin sedikit rentang dan nilainya.
Penutup
Kembali
saya tekankan bahwa tulisan ini bertujuan untuk mengajak public untuk kembali
berfikir. Semua ini juga merupakan luapan keresahan yang selama ini ada. Semoga
dapan menjadi pemikiran bersama dan dicarikan solusinya bersama.
Disini
ada 2 solusi yang kami tawarkan:
1. Memilih
untuk tetap melaksanakan sistem UKT tanpa swadana, yang mana masih banyak
sekali kekurangan, dengan terus memilih untuk memperbaiki system, dari langkah
awal verifikasi berkas hingga keluhan kesalahan penggolongan, sampai berbagai
permasalahan lain yang merupakan metastasis
dari system pembayaran UKT ini.
2. Memilih
untuk merubah keputusan, dan melaksanakan kembali jalur swadana yang bertujuan
untuk menopang pengembangan mutu kampus sebagaimana diperbolehkan dalam pasal 6
Permendikbud nomor 55 tahun 2013 tentang UKT.
Langkah konkrit
yang selanjutnya dapat dilaksanakan adalah mendorong pihak kampus untuk
melakukan transparansi segala jenis transaksi keuangan, dari dana mahasiswa,
BOPTN, ataupun PNBP lainnya. Civitas akademika saat ini semakin kritis, mungkin
bukan hanya mahasiswa bahkan masyarakatpun juga semakin pintar, oleh karena itu
pengelolaan keuangan yang terkenal bersifat “sensitive” harus dilakukan
setransparan mungkin. Hal itu juga tentu sebagai antisipasi terjadinya hal-hal
yang tidak diinginkan, seperti yang Pak Rektor UNS sampaikan bahwa salah satu alasan
sampai saat ini menolak diadakannya jalur swadana adalah takut terjadinya fitnah.
Saya
juga tekankan bahwa solusi yang ditawarkan disini akan sia-sia ketika tidak
diiringi dengan proses check and balance sistem antara pihak rektorat/dekanat
dengan mahasiswa sebagai objek dari kasus ini.
{Perjuangan ini semua mungkin tidak akan berefek pada kami angkatan 2013,
2014, 2015, namun kami hanya tidak ingin semakin “banyak” lagi orang-orang yang
merasakan tingginya biaya kuliah (di UNS)}
~saya bukan tidak percaya Allah
maha kaya, tapi tidak semua orang terlahir untuk menjadi kaya, jadi tidak salah
ketika saya memperjuangkan “ini semua”~
Abdurrahman
Afa Haridhi
Mahasiswa
Pendidikan Dokter 2013
Fakultas
Kedokteran
0 comments:
Posting Komentar