Jaminan kesehatan nasional (JKN) adalah jaminan
berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan
kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan
perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada
setiap orang yang telah membayar iuran atau yang iurannya dibayar oleh
pemerintah (Kemenkes RI, 2013).
JKN yang dikembangkan
di Indonesia merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang
diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme
asuransi kesehatan sosial yang
bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2004
tentang SJSN dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat
yang layak. Dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional, bangsa Indonesia telah memiliki sistem Jaminan Sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. (Kemenkes RI,
2013).
SJSN merupakan program
negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan
sosial bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/2001, Presiden ditugaskan untuk membentuk
sistem jaminan sosial nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial bagi
masyarakat yang lebih menyeluruh dan terpadu.
Prinsip penyelenggaran
JKN yang merupakan implementasi dari
SJSN, menurut UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN, antara lain:
1. Prinsip
kegotong royongan: Prinsip ini diwujudkan dalam mekanisme gotong- royong dari
peserta yang mampu kepada peserta yang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan
wajib bagi seluruh rakyat; peserta berisiko rendah membantu yang berisiko
tinggi; dan peserta sehat membantu yang sakit. Melalui prinsip
kegotong-royongan ini jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilan social bagi
keseluruhan rakyat Indonesia.
2. Prinsip
nirlaba: Pengelolaan dana amanat tidak dimaksudkan mencari laba (nirlaba) bagi
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, akan tetapi tujuan utama penyelenggaraan
jaminan sosial adalah untuk memenuhi kepentingan sebesar-besarnya peserta. Dana
amanat, hasil pengembangannya, dan surplus anggaran akan dimanfaatkan untuk
kepentingan peserta.
3. Prinsip
keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas: Prinsip
manajemen ini diterapkan dan mendasari seluruh kegiatan pengelolaan dana yang
berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya.
4. Prinsip
portabilitas: dimaksudkan untuk memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun
peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
5. Prinsip
kepesertaan bersifat wajib: Kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat
menjadi peserta sehingga dapat terlindungi. Meskipun kepesertaan bersifat wajib
bagi seluruh rakyat, penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi
rakyat dan pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program. Tahapan pertama
dimulai dari pekerja di sektor formal, bersamaan dengan itu sektor informal
dapat menjadi peserta secara mandiri, sehingga pada akhirnya Sistem Jaminan
Sosial Nasional dapat mencakup seluruh rakyat
6. Prinsip
dana amanat: Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan titipan kepada
badan penyelenggara untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan
dana tersebut untuk kesejahteraan peserta.
7. Prinsip
hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk
pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.
Dalam mencapai tujuan mulia dari penyelenggaraan JKN
ini dibutuhkan sebuah badan yang secara khusus mengelola Sistem JKN ini, dimana
saat ini terdapat beberapa badan penyelenggara
jaminan sosial seperti: Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial
Tenaga Kerja (JAMSOSTEK); Perusahaan Perseroan (Persero) Dana tabungan dan
Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN); Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi
Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI); dan Perusahaan
Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES). Maka dari itu sebagai
upaya penyatuan sistem dan pengelolaan system jaminan social dibentuklah Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang diresmikan oleh pemerintah dalam UU
No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial.
Secara garis besar BPJS mengambil alih tugas yang
sebelumnya telah dilaksanakan oleh beberapa badan jaminan sosial. dan dengan UU
No. 24 Tahun 2011 ini dibentuk 2 (dua)
BPJS, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. 1). BPJS Kesehatan
menyelenggarakan program jaminan kesehatan, dan dengan otomatis PT Askes dinyatakan
bubar tanpa likuidasi dan semua aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban
hukum PT Askes (Persero) menjadi aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban
hukum BPJS Kesehatan, serta semua pegawai PT Askes menjadi pegawai BPJS
Kesehatan dan 2). BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi menyelenggarakan
program jaminan kecelakaan kerja, program jaminan hari tua, program jaminan
pensiun, dan program jaminan kematian bagi Peserta, selain peserta program yang
dikelola PT TASPEN dan PT ASABRI. dan PT Jamsostek (Persero) dinyatakan bubar
tanpa likuidasi dan semua aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum PT
Jamsostek (Persero) menjadi aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum
BPJS Ketenagakerjaan, serta semua pegawai PT Jamsostek (Persero) beralih
menjadi pegawai BPJS Ketenagakerjaan (UU RI,
2011).
Mekanisme
pelayanan kesehatan pada era JKN adalah melalui system berjenjang. pada gambar di
samping di gambarkan bagaimana system pelayanan dalam hal ini system rujukan.
Dan pada era JKN akan dikenal istilah Dokter Layanan Primer yang bekerja di
lini pertama dalam menyelesaikan permasalahan kesehatan di Indonesia. Kita akan
mendengar istilah kapitasi, claim,
INA I/II/III.
Universal Health Coverage (UHC) di Indonesia akan
dicapai pada tahun 2019. Untuk mencapainya, kepesertaan UHC di Indonesia
dilakukan secara bertahap melalui Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
sejak resmi dibuka tanggal 1 Januari 2014, dan hingga saat ini telah menerima
beberapa respon di masyarakat, baik yang pro
ataupun kontra. Tidak ada Universal Health Coverage yang pertama kali berjalan
langsung sempurna. Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang belum genap
berusia satu tahun ternyata juga mengalami ketidaksesuaian implementasi di
lapangan.
Untuk mencapai kestabilan era JKN, BPJS diharuskan
memiliki badan survey yang secara khusus meneliti mengenai standar pelayanan
kesehatan yang ada di Indonesia. Dan sejak awal JKN dimulai telah dibentuk
sebuah badan bernama Indonesian Case
Based Group (INA-CBG’s) mengacu pada Peraturan Presiden RI No. 111/2013
tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No. 12/2013 tentang Jaminan
Kesehatan, Bagian Kedua “Tata Cara Pembayaran Iuran” butir 14. Pasal 22 ayat
(1) poin b mengatur tentang pelayanan kesehatan yang dijamin pada pelayanan kesehatan
rujukan tingkat lanjutan, terdiri atas: administrasi pelayanan; pemeriksaan,
pengobatan dan konsultasi spesialistik oleh dokter spesialis dan subspesialis; tindakan
medis spesialistik, baik bedah maupun non bedah sesuai dengan indikasi medis; pelayanan
obat dan bahan medis habis pakai; pelayanan penunjang diagnostik lanjutan
sesuai dengan indikasi medis; rehabilitasi medis; pelayanan darah; pelayanan
kedokteran forensik klinik; pelayanan jenazah pada pasien yang meninggal di
Fasilitas Kesehatan; perawatan inap non intensif; dan perawatan inap di ruang
intensif. Dan badan ini juga yang menentukan tarif rujukan untuk sebuah claim.
Sebuah jurnal kebijakan kesehatan Indonesia edisi
maret 2015 mempublikasikan survey yang menyelidiki kesesuaian implementasi JKN dari
sisi ada/tidaknya biaya tambahan yang dibayarkan oleh Peserta BPJS Kesehatan di
RS wilayah Jabodetabek, yang hasilnya Sebanyak 37 responden dari total 200
responden (18,5%) ditemukan membayar biaya tambahan. Ironinya, biaya tambahan
ini juga terjadi di Rumah Sakit milik Pemerintah. Semua biaya tambahan di RS
Pemerintah merupakan biaya tambahan obat. Sedangkan biaya tambahan di RS Swasta
dialami oleh 25 responden, meliputi biaya tambahan obat, laboratorium, alat kesehatan,
radiologi, tindakan, dan biaya di poli. Biaya tambahan ini dialami oleh semua
jenis kepesertaan, termasuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), sebanyak 4 peserta
PBI membayar biaya tambahan di RS milik Pemerintah, 3 peserta PBI membayar di
RS Swasta. Biaya tambahan pada rawat inap lebih besar daripada biaya tambahan pada
rawat jalan.Peruntukan terbesar biaya tambahan adalah biaya tambahan obat. Alasan
terbesar biaya tambahan adalah karena obat tidak ditanggung BPJS Kesehatan
(81%). Hal ini merupakan boomerang bagi
BPJS Kesehatan (Novianti Br Gultom, 2015).
Pandangan penulis dalam hal ini adalah Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang dicanangkan oleh pemerintah Indonesia ini
sudahlah bagus, karena memang di Negara-negara maju sudah hampir semua
menggunakan system yang mirip seperti JKS, namun memang dalam pelaksanaannya
yang masih sangat perlu pengawalan dan bantuan dari berbagai pihak yang
terlibat, yakni tenaga medis itu sendiri dan juga rakyat sebagai peserta BPJS,
baik dalam proses penentuan nominal penanganan suatu penyakit yang dilakukan
oleh INA CBGs, pengelolaan dan pelayanan dari BPJS, ataupun pengelolaan dan
pelayanan dari Rumah Sakit.
Saat ini terdapat beberapa permasalahan yang ditemui
dalam keberlangsungan SJSN yang dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan, antara lain:
1. Bayaran
tambahan yang tidak terprediksi, dan seharusnya masuk kedalam kategori yang dijamin oleh BPJS (Novianti Br Gultom, 2015).
2. Besaran
iuran yang ditanggung oleh pemerintah, PBI. (ADY,
2015)
3. Permasalahan
yang kompleks. Berawal dari ketidaksiapan dalam pelaksanaan BPJS, sosialisasi
pelaksanaan BPJS di masyrakat bahkan di RS, besaran iuran yang harus
dibayarkan. Banyaknya RS Swasta yang belum bekerjasama dengan BPJS. System IT
BPJS yang belum siap menampung semua keluhan peserta. Ketidakmerataan dokter spesialis yang
berdampak dalam pelayanan. Masalah mendasar Negara pula terkait infrastruktur
hingga SDM kesehatan. (ADY, Kenaikan iuran BPJS
tak selesaikan masalah, 2015)
4. Permasalahan
tenaga medis dan kejelasan tentang penyetaraan Dokter Layanan Primer,
penyelenggaran pendidikan, UU DLP, dan mekanismenya (Muchlish, 2014), (Syarifah, 2014).
5. Kebijakan-kebijakan
BPJS yang dirasa merugikan rakyat (peserta), seperti kebijakan pengambilan
Jaminan Hari Tua (JHT) (Iskandar, 2015).
6. Berbagai
permasalahan teknis dilapangan yang sangat banyak dan disimpulan berawal dari
system BPJS yang ada saat ini dan berakhir pada permasalahan tuntutan perubahan
sistem INA CBGs menjadi Fee for Servis (Harimurti, 2014).
7. Adanya
program baru Pemerintahan Jokowi JK yang menerbitkan Kartu Indonesia Sehat
(KIS) sebagai sarana percepatan penanggulangan kemiskinan, sebagai mana
tercantum dalam Perpres No. 166 tahun 2014 tentang Program Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan. Yang mana juga menimbulkan kebingungan masyarakat
kelas bawah, karena ini akan bertumpang tindih dengan program PBI yang
dilakukan pemerintah dalam program JKN-BPJS. (Aufa,
2014)
8. Permasalahan
dalam claim (istilah dalam pendataan
penanganan peserta BPJS terkait penggantian pembayaran oleh BPJS). dari masih banyaknya masyarakat yang
belum terdaftar dalam BPJS, hingga penggantian pembayaran oleh BPJS kepada RS. (BudiVera, 2015)
Dari sekian banyak permasalahan yang ada dalam penyelenggaraan
BPJS memang belum dapat dikatakan sesuai dengan cita-cita pembentukannya, namun
penulis masih yakin akan suksesnya era BPJS. Harapan akan selalu ada untuk
perbaikan dan evaluasi dari permasalahan penyelenggaraan BPJS yang telah ada,
dari kepuasan peserta, tenaga medis, dan juga semua pihak yang berkaitan dengan
pelaksanaan SJSN. Perbaikan selalu hingga sampai pada Universal Health Coverage
(UHC) di Indonesia akan dicapai pada tahun 2019.
Abdurrahman
Afa Haridhi-2015