Rabu, 22 Juli 2015

Definisi Shalat, sarana Dzikrullah



DEFINISI SHOLAT

A.    Ta’rif/ definisi Sholat
1.      Ta’rif Shalat, secara lahir
Perkataan shalat dalam pengertian bahasa Arab ialah Do’a memohon kebajikan dan pujian. Makna Shalat Allah ï·» kepada Nabi-Nya bermakna pujian Allah ï·» kepada nabi-Nya. Seperti pada firman Allah ï·»:
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (memuji akan Nabi) (QS 33: 56)
Sebelum Islam, orang arab memakai kata shalat dengan arti demikian. dan arti terdapat juga pada beberapa tempat di dalam Al-Qur’an. Firman Allah ï·»:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah (sholatlah) untuk mereka. Sesungguhnya doa (sholat) kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(QS 9:103).
Selanjutnya, adapun ta’rif sholat yang dikehendaki syara’ sebagai nama bagi ibadah yang menjadi tiang Agama Islam, maka para fuqohaa’ (ahli fiqih) telah ber-isthilah menetapkan pengertian Shalat, yaitu :
“beberapa ucapan dan beberapa perbuatan yang dimulao dengan takbir, disudahi dengan salam, yang dengannya kita beribadat kepada Allah, menurut syarat-syarat yang telah ditentukan”.
Sesungguhnya pendefinisian ini hanya mengenai rupa sholat saja, belum mengenai hakikat dan ruhnya. Maksudnya adalah ta’rif para fuqohaa’ ini menggambarkan shalat yang dapat didengan dan dilihat, belum tentang jiwa dan hakikat sholat.
2.      Ta’rif shalat yang melukiskan haqikatush sholat atau sir atau rupa bathin sholat.
Ahlul haqiqah menta’rifkan sholat dengan melukiskan hakikat sholat, yakni:
“berhadap hati/ jiwa kepada Allah, dengan cara mendatangkan rasa takut kepada-Nya, serta menumbuhkan di dalam jiwa rasa keagungan kbesaran-Nya dan kesempurnaan kekuasaan-Nya”.
Dalam riwayat lain:
“hakikat shalat adalah mendhohirkan hajat dan keperluan kita kepada Allah yang kita sembah, dengan perkataan dan pekerjaan, atau dengan keduanya”
Dengan mendhohirkan hajat kita, baik dengan perbuatan ataupun sikap, berarti kita mengharap mendapatkan sesuatu dari yang kita hajati, yang berarti kita memohon suatu nikmat, atau berharap supaya tejauhkan dari musibah, kesusahan dan kemelaratan. dengan demikian dapat dikatakanlah shalat itu adalah do’a.
3.      Ta’rif yang menggambarkan Ruhush Sholat (jiwa sholat)
Ahlul Ma’rifah telah menta’rifkan ruhusshalat dengan ta’rif yang menggambarkan ruh sholat, yaitu:
“ruh shalat itu, ialah: berharap kepada Allah ï·» dengan sepenuh jiwa dengan segala khusyu’ dihadapanNya, dan berikhlas bagi-Nya, serta hadir hati dalam berdzikir, berdo’a dan memuji-Nya”.
Untuk mewujudkan hal itu disyari’atkanlah sholat. Dahulu disyariatkanlah sholat karena tidaklah karena rupanya, namun berdasarkan ruhnya, oleh karena itu terdapat beberapa perubahan rupa sholat antar nabi, sedangkan ruh/ jiwa sholat tidaklah berubah. Sampai tiba Rasulullah Muhammad ï·º sebagai khatamannabiyyun dengan membawa rupa terakhir dari shalat yang di syari’atkan oleh agama Islam.
4.      Ta’rif yang melengkapi rupa, hakikat dan jiwa sholat
Ta’rif secara menyeluruh adalah berhadap hati (jiwa) kepada Allah ï·». Hadap yang mendatangkan takut menumbuhkan rasa kebesaranNya dan kekuasaanNya dengan sepenuh khusyu’ dan ikhlas di dalam beberapa perkataan dan pebuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
Didalam shalat terdapat tawajjuh (usaha berhadap diri pada Allah) dan do’a (memohon hajat dan ampunan kepada Allah). oleh karena itu, harus berhati-hati dalam menterjemahkan sholat, jangan menggunakan terjemahan sholat dengan sembahyang, karena perlu diketahui bahwa sembahyang berasal dari kata sansekerta yang berarti menyembah para dewa.



Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi Ash. Prof. Dr. Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2000.

Apa Kabar BPJS "sang pelaku JKN"?



Jaminan kesehatan nasional (JKN) adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau yang iurannya dibayar oleh pemerintah (Kemenkes RI, 2013).
JKN yang dikembangkan di Indonesia merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak. Dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, bangsa Indonesia telah memiliki sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (Kemenkes RI, 2013).
SJSN merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/2001, Presiden ditugaskan untuk membentuk sistem jaminan sosial nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial bagi masyarakat yang lebih menyeluruh dan terpadu.
Prinsip penyelenggaran JKN yang merupakan  implementasi dari SJSN, menurut UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN, antara lain:
1.      Prinsip kegotong royongan: Prinsip ini diwujudkan dalam mekanisme gotong- royong dari peserta yang mampu kepada peserta yang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat; peserta berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi; dan peserta sehat membantu yang sakit. Melalui prinsip kegotong-royongan ini jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilan social bagi keseluruhan rakyat Indonesia.
2.      Prinsip nirlaba: Pengelolaan dana amanat tidak dimaksudkan mencari laba (nirlaba) bagi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, akan tetapi tujuan utama penyelenggaraan jaminan sosial adalah untuk memenuhi kepentingan sebesar-besarnya peserta. Dana amanat, hasil pengembangannya, dan surplus anggaran akan dimanfaatkan untuk kepentingan peserta.
3.      Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas: Prinsip manajemen ini diterapkan dan mendasari seluruh kegiatan pengelolaan dana yang berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya.
4.      Prinsip portabilitas: dimaksudkan untuk memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5.      Prinsip kepesertaan bersifat wajib: Kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindungi. Meskipun kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh rakyat, penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program. Tahapan pertama dimulai dari pekerja di sektor formal, bersamaan dengan itu sektor informal dapat menjadi peserta secara mandiri, sehingga pada akhirnya Sistem Jaminan Sosial Nasional dapat mencakup seluruh rakyat
6.      Prinsip dana amanat: Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan titipan kepada badan penyelenggara untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta.
7.      Prinsip hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.
Dalam mencapai tujuan mulia dari penyelenggaraan JKN ini dibutuhkan sebuah badan yang secara khusus mengelola Sistem JKN ini, dimana saat ini terdapat beberapa badan penyelenggara  jaminan sosial seperti: Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK); Perusahaan Perseroan (Persero) Dana tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN); Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI); dan Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES). Maka dari itu sebagai upaya penyatuan sistem dan pengelolaan system jaminan social dibentuklah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang diresmikan oleh pemerintah dalam UU No.  24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Secara garis besar BPJS mengambil alih tugas yang sebelumnya telah dilaksanakan oleh beberapa badan jaminan sosial. dan dengan UU No.  24 Tahun 2011 ini dibentuk 2 (dua) BPJS, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. 1). BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan kesehatan, dan dengan otomatis PT Askes dinyatakan bubar tanpa likuidasi dan semua aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum PT Askes (Persero) menjadi aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum BPJS Kesehatan, serta semua pegawai PT Askes menjadi pegawai BPJS Kesehatan dan 2). BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, program jaminan hari tua, program jaminan pensiun, dan program jaminan kematian bagi Peserta, selain peserta program yang dikelola PT TASPEN dan PT ASABRI. dan PT Jamsostek (Persero) dinyatakan bubar tanpa likuidasi dan semua aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum PT Jamsostek (Persero) menjadi aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum BPJS Ketenagakerjaan, serta semua pegawai PT Jamsostek (Persero) beralih menjadi pegawai BPJS Ketenagakerjaan (UU RI, 2011).
Text Box: Figure 1 Alur Rujukan Era JKNMekanisme pelayanan kesehatan pada era JKN adalah melalui system berjenjang. pada gambar di samping di gambarkan bagaimana system pelayanan dalam hal ini system rujukan. Dan pada era JKN akan dikenal istilah Dokter Layanan Primer yang bekerja di lini pertama dalam menyelesaikan permasalahan kesehatan di Indonesia. Kita akan mendengar istilah kapitasi, claim, INA I/II/III.

Universal Health Coverage (UHC) di Indonesia akan dicapai pada tahun 2019. Untuk mencapainya, kepesertaan UHC di Indonesia dilakukan secara bertahap melalui Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sejak resmi dibuka tanggal 1 Januari 2014, dan hingga saat ini telah menerima beberapa respon di masyarakat, baik yang pro ataupun kontra. Tidak ada Universal Health Coverage yang pertama kali berjalan langsung sempurna. Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang belum genap berusia satu tahun ternyata juga mengalami ketidaksesuaian implementasi di lapangan. 
Untuk mencapai kestabilan era JKN, BPJS diharuskan memiliki badan survey yang secara khusus meneliti mengenai standar pelayanan kesehatan yang ada di Indonesia. Dan sejak awal JKN dimulai telah dibentuk sebuah badan bernama Indonesian Case Based Group (INA-CBG’s) mengacu pada Peraturan Presiden RI No. 111/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No. 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan, Bagian Kedua “Tata Cara Pembayaran Iuran” butir 14. Pasal 22 ayat (1) poin b mengatur tentang pelayanan kesehatan yang dijamin pada pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan, terdiri atas: administrasi pelayanan; pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik oleh dokter spesialis dan subspesialis; tindakan medis spesialistik, baik bedah maupun non bedah sesuai dengan indikasi medis; pelayanan obat dan bahan medis habis pakai; pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan indikasi medis; rehabilitasi medis; pelayanan darah; pelayanan kedokteran forensik klinik; pelayanan jenazah pada pasien yang meninggal di Fasilitas Kesehatan; perawatan inap non intensif; dan perawatan inap di ruang intensif. Dan badan ini juga yang menentukan tarif rujukan untuk sebuah claim.
Sebuah jurnal kebijakan kesehatan Indonesia edisi maret 2015 mempublikasikan survey yang menyelidiki kesesuaian implementasi JKN dari sisi ada/tidaknya biaya tambahan yang dibayarkan oleh Peserta BPJS Kesehatan di RS wilayah Jabodetabek, yang hasilnya Sebanyak 37 responden dari total 200 responden (18,5%) ditemukan membayar biaya tambahan. Ironinya, biaya tambahan ini juga terjadi di Rumah Sakit milik Pemerintah. Semua biaya tambahan di RS Pemerintah merupakan biaya tambahan obat. Sedangkan biaya tambahan di RS Swasta dialami oleh 25 responden, meliputi biaya tambahan obat, laboratorium, alat kesehatan, radiologi, tindakan, dan biaya di poli. Biaya tambahan ini dialami oleh semua jenis kepesertaan, termasuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), sebanyak 4 peserta PBI membayar biaya tambahan di RS milik Pemerintah, 3 peserta PBI membayar di RS Swasta. Biaya tambahan pada rawat inap lebih besar daripada biaya tambahan pada rawat jalan.Peruntukan terbesar biaya tambahan adalah biaya tambahan obat. Alasan terbesar biaya tambahan adalah karena obat tidak ditanggung BPJS Kesehatan (81%). Hal ini merupakan boomerang bagi BPJS Kesehatan (Novianti Br Gultom, 2015).
Pandangan penulis dalam hal ini adalah Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang dicanangkan oleh pemerintah Indonesia ini sudahlah bagus, karena memang di Negara-negara maju sudah hampir semua menggunakan system yang mirip seperti JKS, namun memang dalam pelaksanaannya yang masih sangat perlu pengawalan dan bantuan dari berbagai pihak yang terlibat, yakni tenaga medis itu sendiri dan juga rakyat sebagai peserta BPJS, baik dalam proses penentuan nominal penanganan suatu penyakit yang dilakukan oleh INA CBGs, pengelolaan dan pelayanan dari BPJS, ataupun pengelolaan dan pelayanan dari Rumah Sakit.
Saat ini terdapat beberapa permasalahan yang ditemui dalam keberlangsungan SJSN yang dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan, antara lain:
1.      Bayaran tambahan yang tidak terprediksi, dan seharusnya masuk kedalam kategori yang dijamin oleh BPJS (Novianti Br Gultom, 2015).
2.      Besaran iuran yang ditanggung oleh pemerintah, PBI. (ADY, 2015)
3.      Permasalahan yang kompleks. Berawal dari ketidaksiapan dalam pelaksanaan BPJS, sosialisasi pelaksanaan BPJS di masyrakat bahkan di RS, besaran iuran yang harus dibayarkan. Banyaknya RS Swasta yang belum bekerjasama dengan BPJS. System IT BPJS yang belum siap menampung semua keluhan peserta.  Ketidakmerataan dokter spesialis yang berdampak dalam pelayanan. Masalah mendasar Negara pula terkait infrastruktur hingga SDM kesehatan. (ADY, Kenaikan iuran BPJS tak selesaikan masalah, 2015)
4.      Permasalahan tenaga medis dan kejelasan tentang penyetaraan Dokter Layanan Primer, penyelenggaran pendidikan, UU DLP, dan mekanismenya (Muchlish, 2014), (Syarifah, 2014).
5.      Kebijakan-kebijakan BPJS yang dirasa merugikan rakyat (peserta), seperti kebijakan pengambilan Jaminan Hari Tua (JHT) (Iskandar, 2015).
6.      Berbagai permasalahan teknis dilapangan yang sangat banyak dan disimpulan berawal dari system BPJS yang ada saat ini dan berakhir pada permasalahan tuntutan perubahan sistem INA CBGs menjadi Fee for Servis (Harimurti, 2014).
7.      Adanya program baru Pemerintahan Jokowi JK yang menerbitkan Kartu Indonesia Sehat (KIS) sebagai sarana percepatan penanggulangan kemiskinan, sebagai mana tercantum dalam Perpres No. 166 tahun 2014 tentang Program Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Yang mana juga menimbulkan kebingungan masyarakat kelas bawah, karena ini akan bertumpang tindih dengan program PBI yang dilakukan pemerintah dalam program JKN-BPJS. (Aufa, 2014) 
8.      Permasalahan dalam claim (istilah dalam pendataan penanganan peserta BPJS terkait penggantian pembayaran oleh BPJS). dari masih banyaknya masyarakat yang belum terdaftar dalam BPJS, hingga penggantian pembayaran oleh BPJS kepada RS. (BudiVera, 2015)
Dari sekian banyak permasalahan yang ada dalam penyelenggaraan BPJS memang belum dapat dikatakan sesuai dengan cita-cita pembentukannya, namun penulis masih yakin akan suksesnya era BPJS. Harapan akan selalu ada untuk perbaikan dan evaluasi dari permasalahan penyelenggaraan BPJS yang telah ada, dari kepuasan peserta, tenaga medis, dan juga semua pihak yang berkaitan dengan pelaksanaan SJSN. Perbaikan selalu hingga sampai pada Universal Health Coverage (UHC) di Indonesia akan dicapai pada tahun 2019.

Abdurrahman Afa Haridhi-2015